.
.
we’re too young to talk about forever
.
Awalnya ada keraguan di dalam perutku, dan kecemasan di dalam mulutku. Berhiaskan bibir warna merah muda merona, kata-kata itu keluar begitu saja. Tidak ada yang mengalahkan tatapannya yang penuh makna, ketika dia juga mengulang kata yang sama.
“Saya tidak bersedia”
“Saya tidak bersedia”
Semua mulut terbuka, dan para kolega berdiri. Baik dari orangtuanya atau orangtuaku, menyorot kami dengan tatapan tak percaya. Dia tersenyum dan aku menahan tawa. Tidak akan pernah lebih menyenangkan dari pada momentum ini.
Salah satu tangannya masih menggenggam tanganku dengan erat. Dan semakin erat ketika kami mulai berbalik untuk berlari. Menyambut cahaya luar yang menarik kami melewati pintu besar. Pintu yang sama dimana beberapa saat yang lalu kami lewati untuk masuk ke dalam gereja yang muram ini.
Sepasang stiletto warna putih tulang tergeletak di depan mimbar, dan sebuah dasi kupu-kupu merah terhempas di ambang pintu. Begitulah bagaimana cara kami untuk dapat keluar dari paksaan pernikahan yang menyedihkan ini. Well, apa susahnya berkata jujur di hari pernikahanmu.